blog

blog

Senin, 06 Januari 2014

Reportase-Tugas Pribadi-Museum Tsunami Aceh


Museum Tsunami Aceh

Tidak ada salahnya mengenang kembali peristiwa yang meluluh-lantakkan Aceh 26 Desember 2004 silam. Salah satunya melalui Museum Tsunami Aceh yang berada di pusat kota Banda Aceh.
Tsunami yang menghantam Aceh 9 tahun lalu yang masih meninggalkan bekas di hati rakyat Aceh, tetapi tetap saja di atas semua penderitaan itu akan ada  hikmah yang terselip di dalamnya. Melalui Museum inilah rakyat Aceh bisa mengenang kembali peristiwa tsunami yang menelan korban lebih kurang 240.000 jiwa.
Gedung yang dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya (BRR) NAD-Nias, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintah Kotamadya Banda Aceh dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang NAD. Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami Aceh dari BRR Aceh, museum ini dibangun dengan tiga alasan yaitu untuk mengenang korban bencana tsunami, sebagai tempat pendidikan dan sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.
Perencanaan detail Museum dimulai pada bulan Agustus 2006 dan pembangunan akan dibangun diatas lahan lebih kurang 10.000 persegi yang terletak di Banda Aceh dengan anggaran dana sekitar Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang nantinya berisi berbagai benda peninggalan sisa tsunami.
Sebelum pembangunan dimulai panitia menyelenggarakan lomba design museum dengan Tema "Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)", lomba ini berhadiah Total Rp 275 juta. Dan akhirnya setelah menyisihkan 68 desain yang memenuhi persyaratan dari 153 desain karya yang masuk desain karya M. Ridwan Kamil memenagkan lomba desain museum tsunami Aceh dengan karyanya “Rumoh Aceh as Escape Hill”.
Ridwan Kamil yang sekarang menjadi walikota Bandung ini merancang Museum Tsunami bukan sekedar sebuah musium pada umumnya, tetapi dirancang dengan konsep sebagai ruang terbuka untuk publik, tempat untuk hang out, zona edukasi, zona perenungan dan pengingat serta tempat untuk memetik dan belajar banyak dari peristiwa tragedi tsunami Aceh 26  Desember 2004.
Bangunan ini dibuat berdasarkan rumah tradisional masyarakat Aceh, berupa bangunan rumah panggung Aceh yang dibangun setinggi empat lantai yang terletak di kota Banda Aceh kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh yaitu di Jalan Sultan Iskandar Muda bersebelahan dengan pemakaman kuburan belanda (Kerkhoff).  
Ketika memasuki museum ini kita akan memasuki banyak tempat seperti Space of Fear (lorong tsunami), Space of Memory (Ruang Kenangan), Space of Sorrow (sumur doa), Space of Confuse (lorong cerobong)  dan Space of Hope (jembatan harapan). Ketika melihat kearah atas terdapat bendera perdamaian yaitu bendera-bendera negera yang memberikan bantuan ketika tsunami dengan tulisan kata damai sesuai bahasa dari negara-negara tersebut. Museum Tsunami Aceh juga dilengkapi dengan ruang pamer, ruang audiovisual, ruang cinderamata dan restoran. Terakhir Ridwan Kamil tidak lupa membuat bagian atap museum yang berbentuk datar sebagai tempat evakuasi jika sewaktu-waktu bencana itu terjadi lagi.
Sejak diresmikan pada tanggal 23 Februari 2008 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bangunan ini mulai dibuka untuk umum. Museum ini ramai dikunjungi oleh masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar dan mengalami peningkatan dari hari ke hari baik itu wisatawan lokal maupun mancanegara.
Dan tentu saja banyak hal yang terjadi ketika wisatawan berkunjung apalagi jika wisatawan itu termasuk kedalam wisatawan yang tidak pintar. Wisatawan tidak pintar yaitu wisatawan yang tidak bisa menjaga dan tidak bertanggung jawab terhadap objek yang dia kunjungi. Hal ini bisa terjadi karena rasa ingin tahu yang berlebihan yang menyebabkan rusaknya beberapa barang di dalam museum. Seperti ada beberapa alat peraga yang telah rusak oleh tangan para pengunjung padahal larangan untuk menyentuh sudah ditempelkan.
Mengenai biaya pembangunan museum ini sendiri yang telah menghabiskan biaya yang cukup besar menjadi pro dan kontra bagi beberapa kalangan. Pasalnya sebagian orang berpendapat bahwa seharusnya uang itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan para korban bencana alam di Aceh.
Seperti sampai sekarang setelah 9 tahun berlalunya tsunami masih banyak korban yang tinggal di barak-barak karna tidak memiliki rumah. Hal tersebut dirasakan beberapa warga di kawasan Ulee Lheue. Beberapa keluarga masih tinggal di barak-barak kumuh yang tidak layak huni lagi. Sungguh ironis, ditengah kemegahan bangunan-bangunan indah yang dicanangkan oleh pemerintah ternyata masih banyak hal lain yang seharusnya perlu untuk diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar