Museum Tsunami Aceh
Tidak ada salahnya mengenang kembali peristiwa yang meluluh-lantakkan
Aceh 26 Desember 2004 silam. Salah satunya melalui Museum Tsunami Aceh yang
berada di pusat kota Banda Aceh.
Tsunami yang menghantam Aceh 9 tahun lalu yang masih meninggalkan bekas
di hati rakyat Aceh, tetapi tetap saja di atas semua penderitaan itu akan
ada hikmah yang terselip di dalamnya. Melalui
Museum inilah rakyat Aceh bisa mengenang kembali peristiwa tsunami
yang menelan korban lebih kurang 240.000 jiwa.
Gedung yang dibangun atas prakarsa beberapa
lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya (BRR) NAD-Nias, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), Pemerintah Kotamadya Banda Aceh dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang
NAD. Menurut Eddy Purwanto sebagai Penggagas Museum Tsunami Aceh dari BRR Aceh, museum ini dibangun dengan tiga
alasan yaitu untuk mengenang korban bencana tsunami, sebagai tempat pendidikan
dan sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang lagi.
Perencanaan detail
Museum dimulai pada bulan Agustus 2006 dan pembangunan akan dibangun diatas
lahan lebih kurang 10.000 persegi yang terletak di Banda Aceh dengan anggaran
dana sekitar Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang nantinya berisi berbagai benda
peninggalan sisa tsunami.
Sebelum pembangunan
dimulai panitia menyelenggarakan lomba design museum dengan Tema "Nanggroe
Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)", lomba ini berhadiah Total Rp 275
juta. Dan akhirnya setelah menyisihkan 68 desain yang memenuhi persyaratan dari
153 desain karya yang masuk desain karya M. Ridwan Kamil memenagkan lomba
desain museum tsunami Aceh dengan karyanya “Rumoh Aceh as Escape Hill”.
Ridwan Kamil yang
sekarang menjadi walikota Bandung ini merancang Museum Tsunami bukan sekedar sebuah
musium pada umumnya, tetapi dirancang dengan konsep sebagai ruang terbuka untuk
publik, tempat untuk hang out, zona edukasi, zona perenungan dan
pengingat serta tempat untuk memetik dan belajar banyak dari peristiwa tragedi
tsunami Aceh 26 Desember 2004.
Bangunan ini dibuat
berdasarkan rumah tradisional masyarakat Aceh, berupa bangunan rumah panggung
Aceh yang dibangun setinggi empat lantai yang terletak di kota Banda Aceh
kira-kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh yaitu di Jalan Sultan Iskandar Muda bersebelahan
dengan pemakaman kuburan belanda (Kerkhoff).
Ketika memasuki museum
ini kita akan memasuki banyak tempat seperti Space of Fear (lorong tsunami), Space of Memory (Ruang Kenangan), Space
of Sorrow (sumur doa), Space of Confuse
(lorong cerobong) dan Space of Hope (jembatan harapan). Ketika
melihat kearah atas terdapat bendera perdamaian yaitu bendera-bendera negera
yang memberikan bantuan ketika tsunami dengan tulisan kata damai sesuai bahasa
dari negara-negara tersebut. Museum Tsunami Aceh juga dilengkapi dengan ruang
pamer, ruang audiovisual, ruang cinderamata dan restoran. Terakhir
Ridwan Kamil tidak lupa membuat bagian atap museum yang berbentuk datar sebagai
tempat evakuasi jika sewaktu-waktu bencana itu terjadi lagi.
Sejak diresmikan pada
tanggal 23 Februari 2008 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bangunan ini
mulai dibuka untuk umum. Museum ini ramai dikunjungi oleh masyarakat Banda Aceh
dan Aceh Besar dan mengalami peningkatan dari hari ke hari baik itu wisatawan
lokal maupun mancanegara.
Dan tentu saja banyak
hal yang terjadi ketika wisatawan berkunjung apalagi jika wisatawan itu
termasuk kedalam wisatawan yang tidak pintar. Wisatawan tidak pintar yaitu
wisatawan yang tidak bisa menjaga dan tidak bertanggung jawab terhadap objek
yang dia kunjungi. Hal ini bisa terjadi karena rasa ingin tahu yang berlebihan
yang menyebabkan rusaknya beberapa barang di dalam museum. Seperti ada beberapa
alat peraga yang telah rusak oleh tangan para pengunjung padahal larangan untuk
menyentuh sudah ditempelkan.
Mengenai biaya pembangunan museum ini sendiri yang telah
menghabiskan biaya yang cukup besar menjadi pro dan kontra bagi beberapa
kalangan. Pasalnya sebagian orang berpendapat bahwa seharusnya uang itu dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan para korban bencana alam di Aceh.
Seperti sampai sekarang
setelah 9 tahun berlalunya tsunami masih banyak korban yang tinggal di
barak-barak karna tidak memiliki rumah. Hal tersebut dirasakan beberapa warga
di kawasan Ulee Lheue. Beberapa keluarga masih tinggal di barak-barak kumuh
yang tidak layak huni lagi. Sungguh ironis, ditengah kemegahan
bangunan-bangunan indah yang dicanangkan oleh pemerintah ternyata masih banyak
hal lain yang seharusnya perlu untuk diperhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar