Liputan Utama Tempo tentang aib sepakbola Indonesia. Dipuji dan dimaki. Laporan
utama sekaligus investigasi Majalah Tempo tentang buruk rupa sepakbola
Indonesia bak pisau bermata dua. Banyak dipuci karena membeberkan fakta
terselubung, tapi juga dicaci kelompok pendukung tim yang merasa dilecehkan. Majalah
Tempo edisi 24-30 Januari menjadi trending topic di
kalangan supporter sepakbola Indonesia. Gerakan Anti Nurdin Halid yang semakin
mengemuka pasca kongres tahunan PSSI dan menjelang pemilihan Ketua Umum PSSI
2011-2015 seperti mendapat angin segar dengan terbitnya majalah yang memasang
gambar sampul bertuliskan “KORUPSSI, Priiit…! Banyak sandiwara di lapangan
bola.” –seolah menyindir penyelewengan berat di kubu induk organisasi sepakbola
Indonesia itu.
Beberapa twit berseliweran di antara para aktivis “reformasi” sepakbola
Indonesia untuk menyambut baik sekaligus mempromosikan tema investigasi majalah
berita mingguan ini. Ada juga yang menyatakan kalau di beberapa lapak
majalah Tempo edisi ini begitu cepat sold-out alias
laku keras di pasaran.
Tapi, tak semua menyambut bungah, salah satunya yakni Aremania, kelompok
pendukung Arema Indonesia. Mereka berang karena juara Liga Super musim
2009/2010 milik Arema dianggap sebagai ‘hadiah’ dari pengurus PSSI yang
memiliki hubungan dekat dengan klub berlogo kepala singa itu. Melalui
milis arema@yahoogroups.com,
Teguh Handoyo, salah seorang anggota kelompok pendukung tim sepakbola yang
pernah mendapat predikat “the best supporter” di Indonesia itu menuliskan
keberatan lengkapnya”:
Kepada: Yth. Pimpinan Redaksi Majalah Tempo
Saya sebagai Aremania dan pendukung kemajuan sepak bola nasional merasa
senang dengan pemberitaan Tempo edisi 24-30 Januari 2011 yang mengulas tentang
persepakbolaan kita. Namun ada beberapa hal yang mesti diluruskan dalam
pemberitaan tersebut karena kurang/tidak sesuai dengan fakta yang terjadi,
antara lain:
1. Kedekatan Arema dan Nirwan Bakrie, hal ini memang benar adanya namun
tidak seperti yang dicitrakan dalam tulisan tesrsebut. Nirwan memang dekat
dengan semua klub Galatama waktu itu termasuk membantu secara
finansial (di antaranya adalah Arema), dan Arema tidak mendapatkan
keistimewaan dalam hal yang menyangkut pertandingan. Juara edisi 1992-1993
diperoleh dari hasil perjuangan berat.
2. Pertandingan Arema vs Persebaya di Malang. Tidak ada bonek di dalam
stadion seperti yang diberitakan. Proses terjadinya gol memang lewat penalti
yang di dapatkan karena M. Ridhuan terjatuh dalam kotak 16 meski hanya sedikit
bergesekan dengan bek Persebaya. Namun saat itu posisi wasit di belakang kedua
pemain dan secara sekilas terlihat seperti pelanggaran. Komentator di TV juga
berpendapat sama dengan wasit sampai saat kemudian ada replay kejadian tersebut
(hasil replay tidak/belum bisa dijadikan justifikasi pengambilan keputusan
dalam sepak bola).
3. Arema vs Persiwa di Wamena. Tudingan bahwa Arema melakukan suap juga
dilontarkan oleh pelatih Persija (waktu itu) Benny Dollo, dan dijawab Aremania
dengan mengadakan nonton bareng rekaman pertandingan di Wamena yang
difasilitasi oleh sebuah koran lokal di Malang. Disitu terbukti bahwa Arema
menang dengan bersih. Mengenai Manajemen Arema meminta bahwa pertandingan
tersebut dikawal agar berjalan dengan fair, saya rasa hal itu wajar mengingat
berulangkalinya kejadian “aneh bin ajaib” setiap Persiwa bermain di kandang.
4. Arema vs Persija. Seluruh dunia juga tahu bila skor akhir adalah 5-1
untuk kemenangan Arema, bukan 2-1 seperti yang dituliskan, dan Benny Dollo
menolak melakukan press conference karena terlanjur malu.
5. Apabila ada beberapa nama yang dulu turut membidani lahirnya Arema, itu
adalah hak dan rezeki dia. Arema tidak mendapatkan fasilitas khusus, bahkan
terlalu sering di-dzolimi oleh PSSI. Aremania jugalah yang berada di garda
depan dan meneriakkan Revolusi PSSI.
6. Kontributor majalah Tempo di Malang (Abdi Purnomo) sepertinya perlu
dipertanyakan kredibilitasnya karena banyaknya informasi yang tidak akurat dan
menggiring opini negatif para pembaca.
7. Bapak Pemimpin Redaksi yang terhormat, Arema tidaklah suci dan sempurna.
Namun kami juga tidak seburuk dan sekotor yang digambarkan dalam tulisan
anda. Saya menulis surat keberatan ini dengan tujuan agar pembaca dapat
memperoleh informasi yang utuh, akurat, dan tidak sepotong-potong sehingga
menjadi multitafsir. Semoga majalah Tempo dapat terus berkarya.
Aremania, salah satu supporter terbaik di Indonesia. Menyikapi pemberitaan
media dengan dewasa Manajemen Tempo sendiri berjanji
memuat ikhwal keberatan Aremania ini sebagai Surat Pembaca pada edsi
berikutnya. Selain dari Aremania, surat klarifikasi ke Tempo dan ditembuskan
milis arema juga dikirim oleh media officer Arema Indonesia, yang berbunyi:
Sehubungan dengan pemberitaan Majalah Tempo Edisi 24-30 Januari 2011 dengan
judul Korupssi Priit…! Banyak sandiwara di lapangan bola. Maka kami dari
Departemen Media Officer PT Arema Indonesia perlu meluruskan sejumlah informasi yang keliru, dan bila dibiarkan atau tidak dibeikan klarifikasi justmenimbulkan fitnah dan tidak sesuai dengan fakta apalagi menurut kami tidak
disajikan secara berimbang (cover both side). Utamanya dalam rubrik Tempo Investigasi. Beberapa informasi yang disajikan Tempo yang kami anggap keliru dan perlu di luruskan diantaranya :
Departemen Media Officer PT Arema Indonesia perlu meluruskan sejumlah informasi yang keliru, dan bila dibiarkan atau tidak dibeikan klarifikasi justmenimbulkan fitnah dan tidak sesuai dengan fakta apalagi menurut kami tidak
disajikan secara berimbang (cover both side). Utamanya dalam rubrik Tempo Investigasi. Beberapa informasi yang disajikan Tempo yang kami anggap keliru dan perlu di luruskan diantaranya :
1. Halaman 55 kolom ketiga alinea 4, ditulis Stadion seakan segera meledak.
Teriakan dan nyanyian puluhan ribu suporter kedua kesebelasan memecahkan
telinga. Minggu ketiga Februari tahun lalu itu. Persebaya Surabaya bertamu ke
kandang Arema di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur dalam kompetisi Liga
Super. Aremania dan Bonek “bertempur” adu keras suara, memberi semangat kedua
tim yang menyerang silih berganti.
2. Halaman 57 kolom ketiga alinea 3-4, ditulis “Persiwa Wamena ini tim
aneh, karena selalu mendapat penalti di menit-menit akhir,” kata Pelatih Arema,
Robert Alberts, sebelum berangkat ke Papua. Gol ajaib akibat keputusan wasit
yang ganjil memang kerap terjadi pada pertandingan Liga Super di Papua.
Walhasil Arema seperti menjalani misi mustahil. Pemain Arema juga “terteror”
insiden kasar dalam pertandingan dua pekan sebelumnya di Wamena. Pemain-pemain
Persiwa tak hanya mengalahkan Persisam Samarinda dengan satu gol, tapi juga
memukuli enam pemain Persisam.
3. Halaman 58 kolom pertama alinea 2, ditulis “Sepertinya PSSI memang
memberi kesempatan kepada Arema untuk juara musim lalu,” ujar Jhon
bersungut-sungut.
4. Halaman 58 kolom pertama alinea 3, ditulis Apa Rahasianya ? Arema
mengaku meminta tim khusus PT Liga Indonesia memantau pertandingan di Wamena.
“Kami ingin mengantisipasi semua faktor nonteknis,” kata Manajer Arema, Mujiono
Mujito. “Apa salahnya menghubungi semua pihak terkait untuk berjaga-jaga? “.
Artinya, Arema memang justru ketika pertandingan tidak diganggu keanehan
macam-macam.
5. Halaman 58 kolom dua alinea 1,ditulis Menurut sumber Tempo, kejadian di
Wamena itu indikasi bahwa Arema memang “dikawal” petinggi PSSI. Di Liga Super
dan divisi-divisi di bawahnya memang sudah jamak dikenal pentingnya sebuah klub
membeli “pengawalan” khusus dari “bapak asuh”. Biasanya mereka adalah petinggi
PSSI.
6. Halaman 59 kolom satu alinea 1, ditulis Singkat cerita, pada Mei 2010,
setelah bermain imbang 1-1 dengan PSPS Pekanbaru, Arema resmi menjadi juara.
Ribuan suporter Aremania membanjiri pertandingan teakhir arema di Stadion Utama
Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta. Disana Arema menghempaskan Persija 2-1.
Lengkap sudah kesaktian tim Singo Edan.
7. Halaman 59 kolom satu alinea 3, ditulis Arema pun kelimpungan. apalagi
orang-orang Bentoel di Arema mundur satu persatu. Darjoto Setyawan, Ketua
Yayasan Arema dan Gunadi Handoko, Direktur Utama PT Arema, mengundurkan diri.
Berbagai penyelamatan pun dicoba. Mereka bahkan pernah menjajaki merger dengan
klub sepupunya, Persema Malang. Tapi gagal.
8. Halaman 59 kolom dua alinea 3, ditulis Sumber Tempo di dalam manajemen
Arema membenarkan adanya bantuan Bakrie. “Jumlahnya lebih dari Rp 7 miliar,”
katanya.
9. Halaman 59 kolom tiga alinea 1, ditulis Arema melanggang Gelontoran dana
Rp 4,5 miliar untuk Arema dari Ijen Nirwana-pesuahaan pengembang perumahan
milik Grup Bakrie-di awal musim ini mempertegas kedekatan antara Arema dan
Keluarga Bakrie.
10. Halaman 61 kolom satu alinea 1, ditulis Laporan Keuangan mereka tidak
memenuhi standar akuntansi, sekadar pakai program Microsoft Excel yang bisa
dihapus dan diubah siapa saja sehingga kesahihannya diragukan. Laporan keuangan
PSMS Medan dan Arema Indonesia masuk kategori ini.
Dari tulisan yang kami rinci di atas, perlu kami luruskan dan klarifikasi,
temasuk penilaian kami terhadap keseimbangan berita sebagai syarat mutlak dalam
proses jurnalistik, agar diperoleh informasi yang berimbang dan akurat. Adapun
klarifikasi dari kami :
1. Pertandingan Arema vs Persebaya di ISL 2009/2010 digelar pada hri Minggu
21 Februari 2010 di Stadion Kanjuruhan. Jajaran kepolisian Malang Raya melarang
kehadiran suporter Persebaya ke Malang untuk menjaga kondusifitas, selain saat
itu pendukung Persebaya terkena sanksi Komisi Disiplin PSSI, tidak
diperbolehkan mendampingi timnya selama bertanding di luar Surabaya selama
empat tahun. Ketua Panpel Arema Indonesia, Abriadi juga telah melakukan
kordinasi dengan tim Persebaya, saat melakukan tehnical meeting sehari sebelum
pertandingan di Kantor Arema, Jl Sultan Agung, hadir pula jajaran perangkat
pertandingan dan jajaran kepolisian memastikan informasi ketidak hadiran
pendukung Persebaya, karena intruksi dari jajaran kepolisian, juga adanya sanksi
dari Komdis. Karena itu, fakta di Stadion Kanjuruhan saat itu, tidak ada
kehadiran pendukung Persebaya. Kami akan mengirimkan bukti video rekaman
pertandingan Arema Indonesia vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan pada 21
Februari 2010 sebagai bahan kajian redaksi Tempo.
2. Perlu diluruskan, dalam proses jurnalistik unsur when dan who perlu
dikesinambungkan. Robert Alberts, saat tulisan ini dimuat sudah tidak lagi
menjabat sebagai pelatih Arema Indonesia, karena itu perlu ditulis Robert
Alberts sebagai mantan pelatih Arema Indonesia, atau pelatih Arema Indonesia
saat itu. Pertandingan melawan Persiwa di ISL 2009/2010 digelar pada 11 April
2010 di Stadion Pendidikan Wamena Papua. Skor berakhir 0-2 untuk kemenangan
Arema Indonesia. Kemenangan itu hasil dari kerja keras semua yang terlibat
dalam tim maupun manajemen. Sebab dipersiapkan selama tiga bulan lebih sebelum
Arema Indonesia melakukan pertandingan away ke Papua. Di antaranya melakukan TC
di Batu selama tujuh hari, dua minggu sebelum keberangkatan ke Wamena,
tujuannya untuk beradaptasi dengan cuaca di Wamena yang cenderung dingin.
Memantau setiap pertandingan Persiwa, baik saat home maupun away melalui
dokumentasi video. Mengumpulkan data tentang menit-menit gol yang diciptakan
Persiwa untuk mengantisipasi kelemahan yang dimiliki Arema Indonesia, termasuk
memprogram keberangkatan tim empat hari sebelum pertandingan, dengan melakukan
penerbangan transit ke Makassar selama satu hari dengan tujuan agar masa
recovery pemain cukup. Perlu diluruskan pula, tim Arema Indonesia tidak merasa
terteror dengan kejadian yang menimpa tim lain, terbukti saat itu Arema
berangkat dengan pemain-pemain inti. Seharusnya ada konfirmasi dari perwakilan
pemain Arema Indonesia terkait informasi tersebut.
3. Akan lebih berimbang, bila ada pernyataan resmi atau konfirmasi terkait
statemen tersebut kepada mantan jajaran pelatih, manajemen atau pemain Arema
Indonesia yang menjadi saksi pertandingan itu. Dalam kesempatan inipula, kami
mengirim dokumentasi rekaman pertandingan Persiwa vs Arema Indonesia di ISL
2009/2010 di Stadion Pendidikan untuk menjadi bahan kajian redaksi Tempo.
4. Sekali lagi untuk memenuhi unsur jurnalistik utamanya pada unsur when
dan who, saat ini Mujiono Mujito, pada kepengurusan Arema Indonesia pada ISL
2010/2011 sudah tidak menjabat sebagai Manajer Arema Indonesia. Kami sampaikan
saat lawan tim ke Wamena, Mujiono Mujito tidak ikut serta mendampingi tim,
karena alasan kesibukan di luar Arema Indonesia. Ada kesan kuat, opini
diarahkan agar pembaca memahami kalimat nonteknis yang disampaikan narasumber
Mujiono Mujito cenderung ke arah materi. Padahal, non teknis yang diantisipasi
Arema Indonesia saat lawatan ke Papua, yakni faktor transportasi yang jauh,
kondisi medan yang berpengaruh terhadap kebugaran pemain, karena kami menganggap hasil kajian manajemen tim, kenapa tim-tim lain gagal meraih poin di Papua, karena sebagian besar faktor kelelahan. Karena itu dalam penyusunan program ke Wamena, faktor kelelahan ini menjadi bahan kajian. Karena itu kami sampaikan, kemenangan di Wamena pada ISL 2009/2010 karena hasil kerja keras tim bersama manajemen.
kondisi medan yang berpengaruh terhadap kebugaran pemain, karena kami menganggap hasil kajian manajemen tim, kenapa tim-tim lain gagal meraih poin di Papua, karena sebagian besar faktor kelelahan. Karena itu dalam penyusunan program ke Wamena, faktor kelelahan ini menjadi bahan kajian. Karena itu kami sampaikan, kemenangan di Wamena pada ISL 2009/2010 karena hasil kerja keras tim bersama manajemen.
5. Informasi tidak seimbang, tidak ada statemen resmi dari Arema Indonesia
untuk menyeimbangkan informasi yang disajikan. Ada kesan kalimat “dikawal”,
“pengawalan” , dan “bapak asuh” menggiring opini pembaca ke arah negatif, bukan
atas dasar statemen seorang narasumber. Sebab, indikasi kalimat “dikawal”,
tidak tegas di sampaikan narasumber. Kalimat ini menggiring ke opini negatif
terhadap kemandirian Arema Indonesia yang selama ini berjalan dengan tiga pilar
kemandirian yakni dari ticketing, sponsorship dan merchandise. Dalam konteks
organisasi sepak bola, Arema Indonesia merupakan anggota PSSI, sudah selayaknya
bila PSSI melakukan pembinaan terhadap klub-klub sepak bola yang menjadi
anggotanya.
6. Pertandingan Persija vs Arema Indonesia di ISL 2009/2010 digelar pada
Minggu 30 Mei 2010 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan,
Jakarta. Pertandingan berakhir 1-5 untuk kemenangan Arema Indonesia, akan kami
kirimkan pula video rekaman Persija vs Arema Indonesia, 30 Mei 2010 sebagai
bahan kajian redaksi Tempo.
7. Fakta kronologis yang disampaikan tidak runtut. Pengelolaan Arema
Indonesia dari Bentoel ke Konsorsium ditandatangani pada 3 Agustus 2009. Dalam
jajaran direksi PT Arema Indonesia, saat itu Direktur Utama PT Arema Indonesia
dijabat Gunadi Handoko. Sedangkan Darjoto Setiawan, mundur dari Ketua Yayasan
Arema pada 8 September 2009, dan Gunadi Handoko resmi mundur dari jabatan
Direktur PT Arema Indonesia pada 9 Maret 2010, setelah kurang lebih 7 bulan
turut mengelola Arema Indonesia. Sedangkan wacana merger dengan Persema kami
membenarkan muncul jauh sebelum pengelolan di serahkan ke Konsorsium pada
Agustus 2009. Jadi, faktanya bukan muncul setelah Darjoto Setiawan dan Gunadi
Handoko
mengundurkan diri.
mengundurkan diri.
8. Informasi sangat tidak berimbang, karena tidak ada konfirmasi ke
Manajemen PT Arema Indonesia, selayaknya informasi kendati didapat dari
narasumber yang enggan disebutkan jati dirinya, tetap ada konfirmasi kepada
pihak resmi Manajemen PT Arema Indonesia, informasi itu tidak benar. PT Arema
Indonesia murni menjalin kerjasama sponsorship dengan Perumahan Ijen Nirwana
Residence, kerjasama di teken sekaligus launching sponsorship pada 14 Nopember
2010, nilai kerjasama total Rp 4,5 miliar.
9. Hubungan PT Arema Indonesia dengan Ijen Nirwana Residence murni
kerjasama sponsorship. PT Arema Indonesia memberikan kompensasi atau benefit
yang layak sebagai media promosi pihak Ijen Nirwana Residence.
10. Tidak ada konfirmasi resmi ke Departemen Keuangan PT Arema Indonesia
terkait informasi tersebut. Tidak benar, sistem keuangan yang ditulis Tempo,
sebab PT Arema Indonesia sudah menggunakan sistem keuangan yang memiliki
akuntabilitas yang menunjang. Dalam pemberitaan, tidak disampaikan indikator
bukti sebuah laporan keuangan, hanya didasarkan dari laporan keuangan
menggunakan program Microsoft Excel, jadi data indikator Laporan Keuangan
berdasarkan sistem akuntansi yang ditulis Tempo masih sangat dangkal.
Demikian surat klarifikasi ini kami sampaikan. Besar harapan kami, dapat
diambil pelajaran berharga dari pemberitaan tentang kami ini. Kami menyadari
pula bahwa kami juga pernah khilaf, namun lebih bijaksana bila khilaf itu
diperbaiki dengan belajar dan terus belajar. Kami sangat terbuka dengan kritik,
saran dan masukan. Ke depan kami juga berharap, agar Tempo sebagai media yang
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari para pembacanya atas berita yang
disajikan, juga membekali dan belajar awak redaksinya dengan memberikan
pemahaman teknis sepak bola, agar mampu menilai setiap pertandingan murni dari
sisi teknisnya, agar mampu memberikan apresiasi atau penghargaan atas kerja
keras awak tim sepak bola, bukan menyajikan fitnah atau berita tidak benar,
apalagi menyangkut teknis sepakbola. Arema Indonesia menjadi klub yang sejak
awal dibangun dengan kemandirian, karena itu kita merasa masih ingin terus
belajar agar menjadi modern dan profesional.
Sabtu, 29 Januari 2011
Salam Satu Jiwa, Arema Indonesia
Salam Satu Jiwa, Arema Indonesia
Sudarmaji, Media Officer PT Arema Indonesia
Perayaan Arema Juara Liga Super 2010. Bukan karena hadiah. (foto by
wearemania.net)
Tapi, cerita belum selesai. Merasa namanya disebut-sebut, Abdi Purmono,
koresponden Tempo di Malang yang juga berkontribusi pada
tulisan investigasi itu, buka suara. Abel, begitu panggilan jurnalis yang lama
meliput di dunia persepakbolaan Malang itu, menulis catatan di Facebooknya
berjudul “Surat Terbuka kepada Aremania”.
“Saya tidak ikut milis Arema, jadi saya berharap surat terbuka ini dapat
dibaca untuk menjelaskan bagaimana posisi saya sebenarnya dalam pembuatan
laporan investigasi itu,” kata Abel melalui sambungan telepon kepadaMedia
Independen. Ia menegaskan, sampai saat ini tidak berada dalam posisi
terancam, terkait dengan pemberitaan yang menimbulkan murka Aremania itu.
“Saya berterimakasih atas simpati sebagian Aremania dan juga jurnalis di
Malang yang mengkhawatirkan keselamatan saya. Tapi, sejauh ini saya baik-baik
saja,” kata pria lulusan perguruan tinggi di Sumatera Utara itu.
Selengkapnya, surat terbuka Abel berbunyi demikian:
Salam satu jiwa!
Kawan-kawan Aremania sak ndunyo, tolong dibaca dengan
baik-baik, teliti, dan penuh kesabaran agar duduk perkara yang sebenarnya dapat
dipahami dengan berimbang dan adil. Prinsip saya: kita sama-sama belajar dari
masalah ini dengan bijak dan penuh kerendahan hati.
Di Facebook saya menulis identitas saya sebagai orang yang “Masih belajar
membaca, menulis, dan memotret. There’s no angel in the world.”
Saya senang belajar dari siapa pun. Sekitar 30-an tahun lalu, saya tahu
dasar-dasar catur dari anak SD kelas 3. Anak SD ini cucu guru mengaji saya,
juga adik kelas di madrasah ibtidaiyah di Kota Medan. Maaf, jadi sedikit
bernostalgia…
Saya sangat bisa berempati (bukan sekadar bersimpati) terhadap posisi dan
perasaan nawak-nawak Aremania setelah muncul laporan
investigasi majalah TEMPO edisi 24-30 Januari 2011 soal suap di jagat
persepakbolaan kita, dengan sampul berjudul “KORUPSSI, Priiit…! Banyak
sandiwara di lapangan bola.”
Tiga kali saya membaca laporan itu agar saya tak salah atau asal-asalan
memahaminya. Setelah membacanya, saya merasa agak malu dan makin memahami
mengapa kemudian Aremania protes, mulai protes halus sampai kasar (ada yang
pakai mengancam segala), mulai dari yang pakai otak sampai yang asal celometan.
Lima poin sanggahan yang ditulis oleh Mas Teguh R. Handoyo dan disampaikan
ke Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO pada Selasa, 25 Januari 2011, sudah
proporsional. Satu poin lagi (tepatnya di poin keenam) ditulis begini: Kontributor
majalah Tempo di Malang (Abdi Purnomo) sepertinya perlu
dipertanyakan kredibilitasnya karena banyaknya informasi yang tidak akurat dan
menggiring opini negatif para pembaca.
Sedangkan isi poin ketujuh: Bapak Pemimpin Redaksi yang terhormat,
Arema tidaklah suci dan sempurna. Namun kami juga tidak seburuk dan
sekotor yang digambarkan dalam tulisan Anda.
Mas Teguh sudah memberikan contoh sangat baik dan berharga tentang
bagaimana seharusnya persoalan pemberitaan diselesaikan dengan cara yang
beradab dan elegan, yakni dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi. Kedua
hak itu diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers. Tepatnya di Pasal 1 (ayat 11, 12, dan 13), Pasal 5 (ayat 2 dan 3), yang
mewajibkan pers melayani hak jawab dan hak koreksi. Kalau kedua hak ini tidak
dilayani, maka perusahaan pers dikenakan pidana denda sebesar Rp 500 juta.
Kewajiban wartawan untuk melayani hak jawab dan hak koreksi itu juga
disebutkan dalam Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik: wartawan Indonesia
melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Proporsional
berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.Insya Allah, majalah
TEMPO akan memuat utuh surat Mas Teguh pada edisi terbaru yang terbit tiap
Senin (31 Januari 2011). “Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi
atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak
benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan,” demikian bunyi ayat
13 Pasal 1 UU Pers.
Apa yang dilakukan Mas Teguh semoga ditiru Aremania dan komunitas suporter
lainnya jika menghadapi masalah serupa dengan media massa mana pun. Arema dan
Aremania sudah menjadi salah satu ikon dan aset paling berharga bagi dunia
persepakbolaan kita.
Nawak-nawak Aremania, saya bukan penulis laporan itu. Dalam susunan redaksi Tim
Investigasi Suap Sepak Bola, saya bersama 12 rekan koresponden lain
(Palangkaraya, Surabaya, Denpasar, Wamena, Samarinda, Bandung, Kediri,
Yogyakarta, Solo, Bojonegoro, Makassar, dan Jakarta) hanya tercatat sebagai
penyumbang bahan. Ini jelas tertulis di edisi cetak majalah TEMPO, bukan
versi online-nya. Saya ini laksana prajurit dalam satu regu patroli
militer.
Di atas para penyumbang bahan ada penanggung jawab, kepala proyek,
penyunting, dan penulis. Beginilah urutan personel dalam tim dari atas ke
bawah. Tim inilah yang mengolah seluruh bahan (biasa diistilahkan sebagai bahan
belanjaan) dengan menempuh banyak tahap atau prosedur. Coba bayangkan, untuk
satu berita biasa di koran, misalnya, bisa melewati enam tahapan proses,
apalagi untuk laporan panjang.
Pembaca tinggal membaca tanpa dikenai kewajiban untuk ikut repot dan peduli
memikirkan bagaimana susahnya menggarap sebuah berita. Sebaliknya, kalau ada
berita yang keliru, pembaca justru berhak mengoreksi atau membantahnya. Cara
terbaiknya ya seperti yang dicontohkan Mas Teguh. Meski hanya seorang
penyumbang bahan, saya sudah bekerja menurut prosedur dan standar jurnalistik.
Dalam waktu dua minggu saya menghubungi 9 narasumber. Semua narasumber bukan
narasumber eceran atau ecek-ecek. Mereka saya nilai memiliki kredibilitas
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing baik sebagai pelaku maupun saksi.
Tidak semua narasumber mau diungkap identitasnya dan saya wajib melindungi
identitas dan keberadaannya sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 7 Kode Etik
Jurnalistik. Dan tak semua keterangan dikutip karena belum tentu relevan dengan
tujuan laporan dibuat.
Saya sama sekali tidak menyetor bahan laporan tentang pertandingan-pertandingan
Arema berikut skor akhir pertandingannya, makanya saya kaget juga Arema disebut
mengalahkan Persija Jakarta dengan skor 2-1. Padahal Arema menang telak 5-1.
Dari 5 poin sanggahan yang dibuat Mas Teguh, hanya soal peran Nirwan
Dermawan Bakrie yang nyambung dengan bahan laporan yang saya
kirim ke redaksi. Kisah peran Nirwan sudah lama saya ketahui langsung dari Mas
Lucky alias Sam Ikul, pendiri Arema.
Saya hafal garis besar cerita pengelolaan Arema dari masa awal berdiri
sampai dibantu Nirwan hingga kisah Arema sekarang. Saya menulis Nirwan membantu
Arema Rp 61 juta. Bantuan diberikan setelah Arema 86 terpaksa dibubarkan pada
pertengahan Juni 1987 karena kehabisan duit. Kemudian Arema 86 dihidupkan
dengan nama baru: Arema.
Setelah uang diterima, Sam Ikul menguatkan status PS Arema dengan membentuk
Yayasan Arema dengan akta notaris Pramu Handoyo No. 58 tanggal 11 Agustus 1987.
Tanggal inilah yang sampai sekarang diperingati sebagai hari ulang tahun Arema.
Sam Ikul dapat memenuhi janjinya mampu mendatangkan penonton dalam jumlah besar
untuk ukuran klub baru seperti Arema. Waktu itu Persema Malang masih memiliki
jumlah penonton terbanyak. Karena kinerja Arema sudah bagus di tahun pertama,
Nirwan kemudian menjadi donatur alias tidak menjadi penyandang dana sepenuhnya.
Nirwan sempat pula meminjamkan gratis Bambang Nurdiansah alias Banur (kini
jadi pelatih Jakarta 1928, klub peserta Liga Primer Indonesia/LPI) kepada Arema
di putaran kedua kompetisi Galatama 1988-1989. Waktu itu Banur dikenal sebagai
raja gol.
Nirwan dan Sam Ikul (dengan PT Putra Arema) juga berkongsi merenovasi
Stadion Gajayana di masa Wali Kota Soesamto (1988-1998). Nirwan membantu hingga
Arema menjadi juara Galatama XII (1992-1993).
Setelah itu manajer Arema berganti-ganti, mulai Haji Mislan, Vigit Waluyo
(anak Haji Mislan), Iwan Budianto, Gandi Yogatama, sampai kemudian diambilalih
PT Bentoel Prima pada Rabu, 29 Januari 2003, di Hotel Regent’s Park. Skenario
pengambilalihan Arema dibahas dan diputuskan di rumah Bapak Iwan Kurniawan, bos
PT Anugerah Citra Abadi di Jalan Karya Timur 52 (call sign KT-52).
Selama dipegang Bentoel, Arema tak lagi dipusingkan masalah keuangan.
Bentoel mengumumkan pelepasan Arema pada Senin, 3 Agustus 2009, di Hotel
Santika. (Saya bersyukur bisa ikut menghadiri kedua momen bersejarah Arema
itu.)
Arema kembali sempoyongan setelah dilepas Bentoel. Masalah klasik muncul
lagi: gaji pemain dan karyawan telat dibayar. Akibatnya, pemain sempat mogok
latihan. Robert Alberts sempat mengancam mengundurkan diri.
Dalam kondisi genting, Nirwan kembali membantu Arema. Pada Kamis, 14
Oktober 2010, Ketua Yayasan Arema Muhammad Noer memperkenalkan sponsornya di
Ijen Nirwana, perumahan elit milik Grup Bakrie. Noer mengumumkan Arema
mengantongi uang sponsor sekitar Rp 11 miliar, sekitar Rp 4,5 miliar dari Ijen
Nirwana. Selebihnya berasal dari Bank Saudara Rp 5 miliar, PT Mitra
Pinasthika Mustika (distributor tunggal sepeda motor Honda untuk wilayah Jawa
Timur dan Nusa Tenggara Timur) Rp 800 juta ditambah 17 unit sepeda motor
senilai sekitar Rp 221 juta. Belum sebulan, pada 1 November manajemen justru
mengumumkan defisit alias tekor Rp 7.136.000.000 (foto saya lampirkan).
Pembayaran gaji pemain untuk tiga bulan (Agustus, November, Desember 2010) pun
tertunda-tunda, sampai akhirnya kapten Pierre Njanka menyatakan hengkang pada
Senin, 10 Januari 2011.
Dua hari kemudian, tepat sebelum Arema bertanding melawan tuan rumah PSPS
Pekanbaru, manajemen membayarkan gaji untuk bulan November dan Desember. Dari
mana duitnya? Gelap. Beberapa narasumber menyebutkan duit berasal dari pinjaman
Pak Iwan dan bukan sekali ini duit Pak Iwan dipinjam Arema. Sudah jamak
diketahui Pak Iwan seorang dermawan.
Saya pun bertanya pada Pak Iwan dan jawabannya berupa SMS yang saya terima
pada Kamis, 20 Januari 2011, pukul 18.46 WIB. “Kalau soal Arema janganlah, Mas,
karena tujuan saya bantu Arema tanpa pamrih karena setelah mendadak tidak ada
sponsor dari Bentoel, Arema agak kedodoran. Jadi saya punya tanggung jawab
moral saja. Lagi pula Arema merupakan komunitas yang bagus untuk persepakbolaan
di Malang dan Indonesia. Gitu aja ya, Mas. Besok kita sambung
lagi karena aku lagi nemenin tamu. Salam satu jiwa.”
Selama mencari dan mengumpulkan bahan laporan itu pula saya jadi tahu siapa
sebenarnya pemegang saham Arema. Narasumber saya menyebutkan, setelah dilepas
Bentoel, komposisi kepemilikan saham dipegang Yayasan Arema dan Sam Ikul,
dengan jumlah saham 14 lembar.
Sebanyak 13 lembar saham dimiliki Yayasan Arema, dengan pengurus Muhammad
Noer, Moedjiono Moedjito, dan Rendra Kresna. Sisa satu lembar saham (0,07
persen) diberikan kepada Sam Ikul sebagai penghormatan kepada sang pendiri
Arema.
Nilai tiap saham Rp 1 juta. Jadi, sejak dilepas Bentoel, Arema punya saham
hanya sebesar Rp 14 juta! Dan masih banyak kisah menarik dan “seram” lainnya,
seperti kisah manajemen yang amburadul disertai konflik di dalamnya.
Bahan laporan yang saya kirim kemudian “dijahit” oleh redaksi, digabung
dengan bahan laporan dari teman-teman saya yang lain. Kisah tentang Arema dalam
laporan itu mirip kompilasi dari berita-berita yang sudah ada sebelumnya,
termasuk dari berita saya untuk Tempo Interaktif dan Koran
Tempo. Sebagian besar informasi dalam laporan sudah diketahui publik
pencinta sepakbola.
Menurut saya, secara keseluruhan, laporan investigasi itu sudah berimbang
karena ada tanggapan dari pihak-pihak yang disebut. Substansi isunya sudah
menggambarkan masalah sangat besar dalam persepakbolaan kita. Kalau ada
narasumber tak mau diungkap identitasnya, itu menjadi hak narasumber yang wajib
dilindungi wartawan.
Saya tidak menggarap bahan laporan berdasarkan “pesan sponsor” dari
pihak-pihak tertentu seperti dituduhkan beberapa Aremania kepada saya. Saya
juga menolak jika disebut TEMPO telah beropini dan sengaja menyudutkan Arema.
Tapi untuk hal ini biar redaksi saja yang menjelaskan. Yang jelas lagi terbaca
oleh saya adalah laporan investigasi itu sama sekali tidak fokus ke konflik
antara PSSI dengan konsorsium Liga Primer Indonesia.
Bagi saya, LSI dan LPI hanyalah alat untuk memajukan persepakbolaan
Indonesia. Tinggal tergantung siapa operator atau pelaksananya; baik atau
buruk, becus atau goblok, profesional atau tidak profesional. Silakan publik
pencinta sepakbola yang menilai siapa nantinya jadi operator terbaik.
Sikap dasar saya soal LSI dan LPI itu sudah saya tegaskan kepada
orang-orang LPI dan petinggi PT Liga Indonesia, juga kepada teman-teman
wartawan yang mungkin sengaja menggoda atau memang ingin mengejek saya sebagai
wartawan pro-LPI.
Adalah fakta Koran Tempo menjadi sponsor LPI. Ini
hubungannya dengan kegiatan marketing. Redaksi tak ikut campur.
Walau Koran Tempo jadi sponsor LPI, saya tak pernah dipaksa
meliput kegiatan LPI. Begitu pula dengan LSI. Bagi saya, kehadiran LPI
mendatangkan peluang untuk membuat berita lebih banyak. “Cukup sekali
kutegaskan. Aku bukan wartawan LPI atau wartawan LSI. Aku wartawan TEMPO. Uang
LPI dibelah tujuh pun tak pernah kuterima,” begitu saya menegaskan kepada
beberapa teman wartawan. Penegasan itu pertama kali saya sampaikan di ruang
kerja Panitia Pelaksana Pertandingan Arema pada Senin, 16 November 2010, atau
empat hari setelah laga amal antara Persema melawan Indo Holland digelar di
Stadion Gajayana.
Saya bekerja untuk TEMPO selama hampir 10 tahun. Sedikit-banyak saya tahu
bagaimana TEMPO menjaga independensinya. Saya kira, tak hanya di TEMPO, semua
media memang harus menjaga otonomi redaksinya, termasuk harus terbebas dari
intervensi pihak marketing.
Aremania silakan tak percaya atau ragu-ragu. Aremania berhak memberi nilai
positif dan negatif. TEMPO bukanlah media yang 100 persen murni steril dari
kelemahan dan kesalahan. TEMPO tidak terlalu suci untuk diagungkan meski masih
memiliki reputasi yang bagus hingga sekarang—minimal bagi para penggemarnya.
Saya kagum pada TEMPO, tapi saya menolak menjadi pengagum yang buta karena
terlalu fanatik sehingga sulit menerima atau malah tak mau menerima kelemahan
TEMPO. Seingat saya, pendiri TEMPO mengajarkan, kebenaran bisa datang dari
siapa pun dan dari tempat-tempat yang paling tidak kamu sukai.
Asal nawak-nawak sekalian ketahui juga, gara-gara polemik
tentang LSI dan LPI, hubungan antara beberapa teman wartawan di Malang menjadi
kurang harmonis dan terkesan berkubu-kubu: pro LSI dan pro LPI. Hubungan tak
harmonis ini berdampak cukup buruk pada saya dan banyak teman wartawan yang
ingin tetap bekerja profesional dan menjaga independensinya. Saya menyebutnya
sebagai wartawan “poros tengah”.
Oleh karena itu, wartawan poros tengah berencana mengadakan sebuah diskusi
tentang independensi media dalam liputan sepakbola pada Februari mendatang.
Jadwal pastinya sedang dibahas. Doakan ya semoga rencana kami lancar.
Saya cukup hafal sejarah Arema dan Aremania dari awal berdiri sampai
sekarang. Hafalan ini tidak hanya saya dapat dari bacaan, tapi juga cerita dan
kesaksian para pelaku, terutama pendiri Arema, serta kehadiran saya di stadion
dan di luar stadion untuk merekam jejak-jejak Arema dengan segala romantikanya.
Sebagian romantika itu saya rekam dalam foto seperti saya muat di album foto di
Facebook yang saya beri judul “Salam Satu Jiwa!” Masa kerja saya masih
pendek. Sebelum bekerja untuk TEMPO, saya bekerja untuk majalah PANJI
Masyarakat dengan tugas pertama di Aceh dan Medan (1999-2000), lalu
Jakarta. Karir saya di TEMPO dimulai dari Jember, lalu ke Malang hingga
sekarang. Aktivitas lain adalah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Malang dan mengajar di Universitas Muhammadiyah Malang.
Saya sekolah memang untuk jadi wartawan. Saya sangat paham prinsip dan
standar jurnalistik yang tak boleh dilanggar seorang wartawan. Saya tidak
memaksa, tapi kalau mau adil menilai, silakan lihat arsip-arsip berita saya
tentang Arema di www.tempointeraktif.com dengan
nama asli saya ABDI PURMONO atau ABDI PURNOMO (nama kedua ini keliru) di mesin
fasilitas pencarian berita di pojok kanan atas.
Apabila saya dianggap bersalah karena membuat berita bohong sehingga menimbulkan
fitnah atau sengaja merugikan Arema dan Aremania, apalagi saya dituduh membenci
Arema, tentu saya takkan menerima semua ajakan pertemanan dari banyak Aremania
di Facebook. Hasilnya, saya menerima banyak kritik, protes, cacian, dan
ancaman. Namun semua saya terima dengan lapang dada dan semampu mungkin saya
menjelaskan masalahnya kepada Aremania yang bertanya. Menyampaikan surat
terbuka ini merupakan bentuk tanggung jawab moral saya kepada Aremania.
Dan, alhamdulillah, banyak Aremania yang kini menjadi teman setelah
mendapat penjelasan dari saya. Beberapa Aremania memang sudah mengenal saya
secara pribadi jadi lebih mudah memahami sikap dan posisi saya sekarang ini.
Saya percaya, banyak teman mendatangkan banyak kebaikan.
Jika masih banyak Aremania keberatan, silakan protes ke redaksi dan lapor
ke Dewan Pers. Minta Dewan Pers menjadi mediator. Bila perlu Aremania silakan
berunjuk rasa di kantor majalah TEMPO jika TEMPO tak melayani pemuatan surat
dari Mas Teguh.
Saya juga mencintai Arema tapi kita bisa berbeda cara dan gaya dalam
mengekspresikannya; kita boleh tidak saling suka, tapi jangan sampai saling
membenci sehingga kita harus bersikap egoistis dan bersikap pokokedengan
menolak kebenaran dari orang yang tidak kita suka atau kita benci.
Saya sangat menghargai dan menaruh hormat terhadap Aremania yang memberikan
tanggapan. Apabila ada hal-hal yang belum memuaskan dan tidak mengenakkan hati
dalam surat terbuka ini, saya meminta maaf lahir dan batin dengan
setulus-tulusnya.
Matur sembah nuwun untuk kesediaan Aremania membaca dan
memahaminya.
Malang, Minggu, 30 Januari 2011 (pukul 01.15 WIB) Salam Satu Jiwa, Arema!
Demikianlah, laporan investigasi Majalah Tempo menguak
borok sepakbola Indonesia berbuntut polemik. Tapi, keberatan lewat mailing list
yang juga dikirimkan ke redaksi itu, setidaknya telah mendapat penjelasan super
detail dari salah satu awaknya. Semoga, semua pihak bisa bersikap dewasa dalam
persoalan ini.
Sumber : http://mediaindependen.com/kabar-media/2011/01/30/investigasi-tempo-dan-kemarahan-aremania-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar